Pada suatu ketika, tersebutlah seorang resi sakti mandraguna bernama Gutama
yang tinggal di Pertapaan Agrastina. Kerena kesaktiannya, Resi Gutama pernah
membantu para dewa menyelamatkan kahyangan, dan atas jasanya ini, Batara Guru
menghadiahi sang resi seorang bidadari bernama Dewi Indradi (Windradi)
sebagai istrinya. Walalupun Dewi Indradi sebenarnya lebih menyukai Batara
Surya (Dewa Matahari), dia menerima Resi Gutama sebagai suaminya.
Sebelum menikah, Batara Surya
menghadiahi Dewi Indradi sebuah mustika bernama Cupu Manik Astagina. Cupu
adalah suatu wadah berbentuk bundar kecil terbuat dari kayu atau logam, sedang manik
adalah permata. Kesaktian Cupu Manik Astagina adalah dapat memperlihatkan
tempat-tempat di dunia tanpa harus mendatanginya.
Telaga kecil di lereng Gunung Lawu
yang sejuk.

Pijakan. Beberapa batuan di pinggir telaga. Sering digunakan oleh
penduduk sekitar untuk pijakan saat mandi di telaga yang jernih ini.
Sebelum menikah Batara Surya
menghadiahi Dewi Indradi sebuah mustika bernama Cupu Manik Astagina. Kesaktian
Cupu Manik Astagina adalah dapat memperlihatkan tempat-tempat di dunia tanpa
harus mendatanginya.
Pernikahan Resi Gutama dan Dewi
Indradi menghasilkan tiga orang anak. Anak pertama perempuan bernama Anjani,
anak kedua dan ketiga kembar, bernama Guwarsi dan Guwarsa.
Suatu ketika, Dewi Indradi
memberikan Cupu Manik Astagina kepada Anjani. Ini membuat iri dua saudaranya,
Guwarsi dan Guwarsa. Ketiga bersaudara ini pun bertengkar memperebutkannya.
Keributan ini lalu didengar oleh ayah mereka. Resi Gutama lalu bertanya kepada
Dewi Indradi, darimana dia memperoleh cupu itu. Dewi Indradi yang telah dipesan
oleh Batara Surya untuk merahasiakan pemberiannya, hanya diam saja. Ini membuat
marah Resi Gutama yang lalu mengutuk Dewi Indradi menjadi batu.
Cupu Manik Astagina lalu dibuang dilempar oleh Resi Gutama. Tempat jatuhnya cupu itu
menjelma menjadi sebuah telaga indah dengan air yang sangat jernih, yang kemudian
dikenal dengan nama Telaga Madirda. Tiga bersaudara, Anjani, Guwarsi,
dan Guwarsa yang baru saja kehilangan ibu mereka, masih saja menurutkan hawa
nafsunya berebut mustika itu dan terus mencarinya. Ketika sampai di Telaga
Madirda, mereka mengira cupu itu ada di dasarnya. Guwarsi dan Guwarsa yang
menyelam ke dalam telaga, ketika keluar berubah menjadi manusia kera. Sedangkan
Anjani yang hanya memasukkan wajah dan tangannya, hanya kepala dan tangannya
saja yang menyerupai kera. Mereka kemudian menjadi menjadi bangsa Wanara,
manusia (nara) yang tinggal dihutan (wana), atau bangsa manusia
kera.
Cupu Manik Astagina lalu dibuang
dilempar oleh Resi Gutama. Tempat jatuhnya cupu itu menjelma menjadi sebuah
telaga indah dengan air yang sangat jernih, yang kemudian dikenal dengan nama
Telaga Madirda.
Ikan. Di telaga ini banyak terdapat ikan-ikan besar yang
berenang bebas dan tidak ada yang menangkapnya.
Bermain. Anak-anak desa bermain mencari ikan di sekitar telaga
(bukan di dalam telaga). Aliran air di luar telaga memang sebagian digunakan
untuk budidaya ikan.
Air. Selain untuk budidaya ikan, air telaga yang jernih juga
dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk pengairan, air minum, mandi, dan
keperluan lainnya.
Untuk menyucikan diri, dengan
petunjuk ayah mereka, mereka bertiga bertapa ditempat yang berbeda. Guwarsi dan
Guwarsa yang telah berganti nama menjadi Subali dan Sugriwa
masing-masing bertapa di Gunung dan Hutan Sunyapringga. Sedang Anjani di
Telaga Madirda, bertapa nyantolo atau berendam seperti katak.
Kutukan kepada Anjani akan berakhir setelah dia melahirkan seorang anak titisan
Siva. Dengan pertapaannya yang sunguh-sungguh, akhirnya Siva
mengabulkannya, melalui makanan yang diterbangkan Batara Bayu (Dewa
Angin) kepada Anjani. Anjani memakan makanan tersebut, lalu lahirlah seorang
wanara paling perkasa, kera putih bernama Hanuman.
Sedang Anjani di Telaga Madirda, bertapa
nyantolo, atau berendam seperti katak. Kutukan kepada Anjani akan berakhir
setelah dia melahirkan seorang anak titisan Siva. Akhirnya Siva mengabulkannya,
melalui makanan yang diterbangkan Batara Bayu (Dewa Angin) kepada Anjani.
Anjani memakan makanan tersebut, lalu lahirlah seorang wanara paling perkasa,
kera putih bernama Hanuman.
Hanoman dan dua pamannya, Subali dan
Sugriwa, merupakan tokoh-tokoh penting dalam epos Ramayana. Hanoman dan
Sugriwa yang membantu Rama mencari Sita dan mengalahkan Rahwana. Sedang
Subali, adalah guru dari Rahwana (Dasamuka).
Cekungan. Telaga Madirda terletak di sebuah cekungan datar. Di
sekitarnya adalah bukit dengan tanaman menghijau, jalan desa, dan rumah-rumah
penduduk.
Konstan. Debit air di Telaga Madirda konon selalu konstan. Tidak
pernah kering saat musim kemarau dan tidak banjir saat musim hujan.
Telaga Madirda, tempat Cupu Manik Astagina dibuang dan tempat Anjani
menyucikan diri, menurut cerita rakyat, berada disini. Tepatnya di lereng barat
Gunung Lawu, di Dusun Tlogo, Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah.
Dengan ketinggian sekitar 900 mdpl, telaga ini memang terasa sangat sejuk,
tenang, indah dan asri.
Telaga ini tidak terlalau besar,
luas airnya hanya sekitar 1000 m2, terletak pada suatu cekungan
datar seluas kira-kira 3000 m2. Di sekeliling telaga adalah
perbukitan dengan tumbuh-tumbuhan yang menghijau dan rumah-rumah penduduk desa
yang bersahaja.
Menghijau. Dengan pasokan air yang cukup, membuat kawasan disekitar
telaga menjadi daerah yang subur dan menghijau.
Air Telaga Madirda sangat jernih,
sehinga dasar telaga, batuan yang ada di dalamnya, dan ikan-ikan yang bebas berenang
dapat telihat dengan jelas. Yang paling menarik, konon air di telaga ini tidak
pernah kering dan tidak pernah berlebih. Debit airnya selalu konstan dimusim
kemarau ataupun penghujan. Jadi kapanpun telaga ini dikunjungi, akan selalu
terasa sejuk dan segar.
Air Telaga Madirda sangat jernih,
sehinga dasar telaga, batuan yang ada di dalamnya, dan ikan-ikan yang bebas
berenang dapat telihat dengan jelas. Yang paling menarik, konon air di telaga
ini tidak pernah kering dan tidak pernah berlebih.
Alami. Telaga ini masih relatif alami, belum banyak fasilitas
yang disediakan. Bangunan disekitarnya adalah rumah penduduk desa.
Fasilitas. Hanya ada tambahan fasilitas outbound sederhana yang
biasanya malah dipakai anak-anak desa untuk bermain.
Di sekitar lokasi telaga – dalam
radius beberapa kilometer – terdapat lima candi Hindu yang diperkirakan
merupakan peninggalan Majapahit. Candi yang paling dekat adalah Candi Planggatan,
lalu Candi Sukuh,
Candi Cetho,
Candi Kethek, dan Candi Menggung yang berlokasi dekat Grojogan Sewu. Keberadaan
telaga ini kemungkinan masih berhubungan tradisi Hindu Majapahit. Pada setiap
menjelang peringatan Nyepi, di telaga ini diadakan upacara Melasti
oleh umat Hindu setempat.
Mata Air. Sekitar 10 meter diatas telaga terdapat mata air yang
mengisi telaga. Selain itu, mata iar ini juga digunakan untuk mengairi sawah
dan kebun penduduk disekitar telaga.
Batu Petilasan. Konon ini adalah batu petilasan tempat Dewi Anjani bertapa
menyucikan diri.
Melasti. Beberapa hari sebelum Nyepi – biasanya pada hari minggu –
umat Hindu disekitar Telaga Madirda mengadakan upacara Melasti,
upacara penyucian menyambut Tahun Baru Saka.
Mesikpun merupakan obyek wisata alam
yang sangat indah, keberadaan Telaga Madirda belum banyak diketahui orang.
Papan petunjuk lokasi, fasilitas yang ada, dan informasi terkait tempat ini
masih dangat minim. Satu sisi, hal ini menyulitkan orang yang ingin berkunjung.
Di sisi lain, karena belum banyak pengunjung dan fasilitas buatan manusia, ke
alamian tempat ini masih dapat terjaga.
Telaga Madirda dalam putaran 3000
0 komentar:
Posting Komentar